Adakah Kita dengan Adik Kita Begini ???!

Posted by Unknown on Friday, March 28, 2014 with No comments
Aku Menangis untuk Adikku...!!!


Aku dilahirkan di sebuah dusun pegunungan yang sangat terpencil. Hari demi hari, orang tuaku membajak tanah kering kuning dan punggung mereka mengahadap ke langit. Aku mempunyai seorang adik yang berusia tiga tahun lebih muda dariku.

Suatu ketika, untuk membeli sebuah sapu tangan yang mana semua gadis disekelilingku kelihatannya membawanya, Aku pun mencuri lima puluh sen dari laci Ayahku. Ayah segera menyadarinya. Beliau membuat Aku dan Adikku berlutut di depan tembok, dengan sebuah tongkat bambu di tangannya. "Siapa yang mencuri uang itu?" Beliau bertanya. Aku terpaku,terlalu takut untuk berbicara. Ayah tidak mendengar siapapun mengaku, jadi beliau mengatakan, "Baiklah, kalau begitu, kalian berdua layak dipukul!"

Dia mengangkat tongkat bambu itu tinggi sekali. Tiba-tiba, adikku mencengkeram tangannya dan berkata, "Ayah, aku yang melakukannya!" Tongkat panjang itu pun langsung menghantam punggung adikku bertubi-tubi. Ayah begitu marahnya sehingga ia terus menerus mencambukkinya sampai beliau kehabisan nafas. Sesudahnya, beliau duduk di atas ranjang batu bata kami dan memarahi, "Kamu sudah belajar mencuri dari rumah sekarang, hal apa lagi yang akan kamu lakukan di masa mendatang?... Kamu layak dipukul sampai mati! Kamu pencuri tidak tahu malu!"

Malam itu, ibu dan aku memeluk adikku dalam pelukan kami. Tubuhnya penuh dengan luka  tetapi ia tidak menitikkan air mata setetes pun. Di pertengahan malam itu, saya tiba-tiba mulai menangis meraung-raung. Adikku menutup mulutku dengan tangan kecilnya dan berkata, "Kak, jangan menangis lagi sekarang. Semuanya sudah terjadi."

Aku masih selalu membenci diriku karena tidak memiliki cukup keberanian untukmaju mengaku. Bertahun-tahun telah lewat, tapi insiden tersebut masih kelihatan seperti baru kemarin. Aku tidak pernah akan lupa tampang adikku ketika ia melindungiku. Waktu itu, adikku berusia 8 tahun, dan aku berusia 11 tahun. Kemudian, ketika adikku berada pada tahun terakhirnya di SMP, ia lulus untuk masuk ke SMA di pusat kabupaten. Pada saat yang sama, saya diterima untuk masuk ke sebuah universitas provinsi.

Malam itu, ayah berjongkok dihalaman, menghisap rokok tembakaunya, bungkus demi bungkus. Saya mendengarnya memberengut, "Kedua anak kita memberikan hasil yang begitu baik...hasil yang begitu baik..." Ibu mengusap air matanya yang mengalir dan menghela nafas, "Apa gunanya? Bagaimana mungkin kita bisa membiayai keduanya sekaligus?" Saat itu juga, adikku berjalan keluar ke hadapan ayah dan berkata, "Ayah, saya tidak mau melanjutkan sekolah lagi, telah cukup membaca banyak buku." Ayah mengayunkan tangannya dan memukul adikku pada wajahnya. "Mengapa kau mempunyai jiwa yang begitu keparat lemahnya? Bahkan jika berarti saya mesti mengemis di jalanan saya akan menyekolahkan kamu berdua sampai selesai!"

Dan begitu kemudian ia mengetuk setiap rumah di dusun itu untuk meminjam uang. Aku menjulurkan tanganku selembut yang aku bisa ke muka adikku yang membengkak, dan berkata, "Seorang anak laki-laki harua meneruskan sekolahnya, kalau tidak ia tidak akan pernah meninggalkan jurang kemiskinan ini." Aku sebaliknya, telah memutuskan untuk tidak lagi meneruskan ke universitas.

Siapa sangka keesokkan harinya, sebelum subuh datang, adikku meninggalkan rumah dengan beberapa helai pakaian lusuh dan sedikit kacang yang sudah mengering. Dia menyelinap ke samping ranjangku dan meninggalkan secarik kertas diatas bantalku: "Kak, masuk ke universitas tidaklah mudah. Saya akan pergi memcari kerja dan mengirimu uang." Aku memegang kertas tersebut di atas tempat tidurku, dan menangis dengan air mata bercucuran sampai suaraku hilang. Tahun ktu, adikku berusia 17 tahun, dan aku berusia 20 tahun. Dengan uang yang ayahku pinjam dari seluruh dusun, dan uang yang adikku hasilkan dari mengangkut semen pad punggungnya di lokasi konstruksi, aku akhirnya sampai ke tahun ketiga di Universitas.

Suatu hari, aku sedang belajar di kamarku, ketika teman sekamarku masuk dan memberitahukanku, "Ada seorang penduduk dusun menunggumu di luar sana!"
Mengapa ada seorang penduduk dusun memcariku? Pikirku. Aku berjalan keluar, dan melihat adikku dari jauh, seluruh badannya kotor tertutup debu semen dan pasir. Aku menanyakannya, "Mengapa kamu tidak bilang teman sekamarku kamu adalah adikku?" Dia menjawab dengan tersenyum, "Lihat bagaimana penampilanku. Apa yang akan mereka pikir jika mereka tahu saya adalah adikmu? Apa mereka tidak akan menertawakanmu?" Aku merasa tersentuh dan air mata memenuhi mataku. Aku menyapu debu-debu dari adikku dan tersekat-sekat dalam kata-kataku, "Aku tidak peduli omongan siapa pun! Kamuadalah adikku, apa pun itu keadaannya, bagaimanapun penampilanmu!" Kemudian dari sakunya, ia mengeluarkan sebuah jepit rambut berbentuk kupu-kupu. Ia memakaikannya kepadaku, dan terus menjelaskan, "Saya melihat semua gadis kota memakainya. Jadi saya pikir kamu juga harus memiliki satu." Akupun tidak dapat menahan diri lebih lama lagi. Aku menarik adikku ke dalam pelukanku dan menangis.

Tahun itu aku berusia 23 dan adikku berusia 20. Kali pertama aku membawa pacarku ke rumah, kaca jendela yang pecah telah diganti dan kelihatan bersih dimana-mana. Setelah pacarku pulang, aku menari seperti gadis kecil di depan ibuku. "Bu, ibu tidak perlu menghabiskan begitu banyak waktu untuk membersihkan rumah kita. "Tetapi katanya sambil tersenyum, "Itu adalah adikmu yang pulang awal untuk membersihkan rumah ini. Tidakkah kamu melihat luka pada tangannya? Ia terluka ketika memasang jendela baru itu." Aku masuk ke dalam ruangan kecil adikku. Aku melihat mukanya yang kurus, seratus jarum terasa menusukku. Aku mengoleskan sedikit saleb pada lukanya dan membalut lukanya. "Apakah itu sakit?" Aku menanyakannya. "Tidak, tidak sakit. Kamu tahu, ketika saya bekerja di lokasi konstruksi, batu-batu berjatuhan pada kakiku setiap waktu. Bahkan itu tidak menghentikanku bekerja dan.." Ditengah-tengah pembicaraan itu, ia berhenti. Aku membalikkan tubuhku dan memunggunginya, dan air mata mengalir deras turun ke wajahku.

Ketika aku menikah, aku tinggal dikota. Banyak kali suamiku dan aku mengundang orang tuaku untuk datang dan tinggal bersama kami, tetapi mereka tidak pernah mau. Mereka mengatakan, sekali meninggallan dusun, mereka tidak akan tahu harus mengerjakan apa. Adikku tidak setuju juga, ia mengatakan, "Kak, jagalah mertuamu saja. Saya akan menjaga ibu dan ayah disini." Suamiku menjadi direktur pabriknya. Kami menginginkan adikku mendapatkan pekerjaan sebgai manager pada departemen pemeliharaan. Tetapi adikku menolak tawaran tersebut. Ia bersikeras memulai bekerja sebagai pekerja reparasi.

Suatu hari, adikku mendapat sengatan listrik dan terjatuh dari tangga, dan akhirnya masuk rumah sakit. Suamiku dan aku pergi menjenguknya. Melihat gips putih pada kakinya, saya menggerutu, "Mengapa kamu menolak m3njadi manager? Manager tidak akan pernah harus melakukan sesuatu yang berbahaya seperti ini. Lihat kamu sekarang, luka yang begitu serius. Mengapa kamu tidak mau mendengar kami sebelumnya?" Dengan tampang serius pada wajahnya, ia membela keputusannya, "Pikirkan kakak ipar, ia baru saja jadi direktur dan saya hampir tidak berpendidkkan. Jika saya menjadi  manager seperti itu, berita seperti apa yang akan dikirimkan?" Mata suamiku dipenuhi air mata, dan kemudian keluar kata-kataku yang sepatah-sepatah: "Tapi kamu kurang pendidika  juga karena aku!" "Mengapa membicarakan masa lalu?" Kata adikku yang langsung menggenggam tanganku.

Disaat adikku berusia 30 tahun, ia menikahi seorang gadis petani dari dusun itu. Dalam acara pernikahannya, pembawa acara perayaan itu bertanya kepadanya, "Siapa yang paling kamu hormati dan kasihi?" Tanpa berpikir panjang, ia menjawab, "Kakakku." Ia melanjutkan dengan menceritakan kembali sebuah kisah yang bahkan tidak kuingat lagi. "Ketika saya pergi sekolah SD, ia berada pada dusun yang berbeda. Setiap hari kakakku dan saya berjalan selama dua jam untuk pergi ke sekolah dan pulang ke rumah. Suatu hari, saya kehilangan satu dari sarung tanganku. Kakakku memberikan satu dari kepunyaannya. Ia hanya memakai satu saja dan berjalan sejauh itu. Ketika kami tiba di rumah, tangannya begitu gemetaran karena cuaca yang begitu dingin, sampai-sampai ia tidak dapat memegang sumpitnya. Sejak hari itu, saya bersumpah, selama saya masih hidup, saya akan menjaga kakakku dan baik kepadanya."

Tepuk tangan membanjiri ruangan itu. Semua tamu memalingkan perhatiannya kepadaku. Kata-kata begitu susah kuucapkan dari bibirku. "Dalam hidupku, orang yang paling aku berterima kasih adalah adikku." Dan dalam kesempatan yang paling berbahagia ini, didepan kerumunan perayaan ini, air mata bercucuran turun dari wajahku seperti sungai.

~SEKIAN~
Categories: